TUGAS KELOMPOK
PROPOSAL PENELITIAN
“KORELASI ANTARA KEPENTINGAN MEDIA DENGAN ISI PEMBERITAAN MEDIA MASSA DALAM KASUS KRISIS POLITIK NEGARA LIBYA”
Mata Kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi Kuantitatif
Dosen Pengampu : Drs. Bono Setyo, M.Si
Disusun Oleh :
Arina Nur Husnia 09730046
Chacha Dwi Armadania 09730053
Herman Wahyudi 09730055
Mufid Salim 09730056
Pratiwi Anggun N. 09730069
Drara Novia Dwi Astrini 09730072
Abd. Salam Minfadillah 09730076
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011
KORELASI ANTARA KEPENTINGAN MEDIA DENGAN ISI PEMBERITAAN MEDIA MASSA DALAM KASUS KRISIS POLITIK NEGARA LIBYA
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sekilas Perkembangan Media Massa di Indonesia.
Perkembangan media massa di Indonesia tidak terlepas dari peran mahasiswa dalam menumbangkan rezim otoriter Suharto (baca: orde baru). Dimana kebebasan pers dilindungi dan diatur dalam undang-undang. Sehingga pers pun mampu memposisikan dirinya sebagai kontrol sosial. Sebuah media yang mampu menyajikan informasi kepada publik secara layak dan benar.
Media tidak lagi harus berurusan dengan pembredelan jika dianggap menentang pemerintah. Media dengan leluasa bisa menyajikan informasi apapun selagi dapat menyajikan secara benar dan akurat, walaupun hal tersebut bertentangan dengan pemerintah. Sehingga pada perkembangan ini media berhak mengatur dan memilih jalan pemberitaan seperti apa yang akan ditempuh. Media pada akhirnya berjalan dengan ideologi dan kepentingannya sendiri atas dasar kebebasan pers tersebut.
Realitas tersebut yang kemudian mengakibatkan pada sudut pandang pemberitaan yang berbeda antar media massa yang satu dengan media yang lainnya. Karena media –pasca reformasi– tidak serta merta berdiri tanpa pondasi kepentingan dan ideologi tertentu. Media dewasa ini kehilangan ruh kontrol sosialnya yang, karena wacana independensi sudah menjadi barang mahal dalam kancah pertarungan media, khususnya di Indonesia.
Kepentingan dan Ideologi Media
Media massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini publik karena media massa mampu mempengaruhi opini publik pada suatu peristiwa tertentu, bahkan terkadang membuat audiennya tidak sadar akan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Setiap berita yang disajikan oleh media tentunya telah di desain sesuai dengan ‘kepentingan’ media baik itu internal maupun eksternal.
Salah satu media massa yang senantiasa diwarnai dengan pesan-pesan politik adalah media cetak, khususnya surat kabar. Dari sekian berita/informasi yang disajikan, masing-masing memperlihatkan adanya keterlibatan kepentingan dan ideologi tertentu. Sebuah teks, kata Aart van Zoesr, tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.
Erianto menempatkan ideologi sebagai konsep dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Eriyanto dalam hal ini lebih mengarah kepada pendekatan kualitatif. Namun demikian dalam tulisan ini penulis lebih memfokuskan pada pendekatan kuantitatif. Lebih jelas mengenai pendekatan ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita akan dipandang sebagai sebagai informasi yang mampu merepresentasikan sebuah realitas. Akan tetapi, berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul akan gerakan pers (baca: media massa). Berita yang semestinya netral untuk memuat berbagai kejadian penting sering dicampur dengan berbagai pesan yang berbau politik yang cukup jelas. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap penulisan berita menyimpan latar belakang penulis dan ideologi media itu sendiri. Seorang penulis pasti akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh di lapangan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan bingkai (frame) pemberitaan di media mengenai suatu kasus dapat berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun mengangkat peristiwa yang sama.
Menurut Todd Gitlin, bingkai media (frame media) adalah sebuah strategi bagaimana realitas dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Bingkai media diperlihatkan melalui konsepsi dan skema interpretasi wartawan dalam menyususun, mengisahkan, menulis dan menekankan fakta dari suatu peristiwa atau isu tertentu.(Erianto Hlm. 68)
Media massa memiliki dua macam kepentingan, yakni kepentingan bisnis dan kepentingan ideologi. Kepentingan bisnis mengindikasikan ada kepentingan kapitalisme di dalam media massa tersebut. Entah itu berkepentingan terhadap pemilik modal media massa, maupun kepada kepentingan para pengiklan. Sehingga media massa tidak lagi berpegang pada kebermanfaatan isi pemberitaan bagi publik, melainkan lebih mengarah pada mencari keuntungan semata. Sedangkan prinsip dari kepentingan ideologi, yakni berhubungan dengan kekuasaan. Kekuasaan bukan saja dimaksudkan untuk memperoleh kedudukan secara formal, melainkan ada kepemimpinan yang tak tampak di sini, yaitu berupa nilai, norma, maupun budaya. Ketiganya coba diusung oleh beberapa media untuk mempengaruhi publik. Dengan demikian, secara perlahan, mampu menanamkan nilai-nilai baik maupun nilai-nilai buruk pada masyarakat.
Ketimpangan Pemberitaan Antar Media
Dalam berbagai studi dan kajian media, berita tidak serta dipahami sebagai suatu representasi atau cerminan sebuah realitas. Berita merupakan hasil konstruksi sebuah komunitas besar yang punya kendali terhadap media. Dalam artian, konten berita yang terkandung dalam media massa adalah realitas dalam konstruksi media itu sendiri. Di sini jelas sulit dibedakan mana realitas yang dikonstruksi dan mana realitas yang sesungguhnya. Akan tetapi, melalui pengkajian dalam perspektif kuantitatif ini setidaknya kita dapat memahami isi berita melalui sudut pandang dan ideologi mana berita itu diproduksi.
Pada kenyataannya, lebih dari sekadar media informasi harus kita akui bahwa media massa punya corak dan warnanya sendiri-sendiri. Dimana corak dan warna itu selalu indentik dan menjadi representasi daripada karakteristik media tersebut. Inilah yang kita sebut sebagai ideologi media. Dan adalah menjadi suatu hal yang tidak terbantahkan bahwasanya sudut pandang isi pemberitaan tidak akan jauh-jauh dari ideologi media itu sendiri.
Ideologi media pada hakekatnya membentuk media sebagai mesin propaganda berkedok kontrol sosial. Propaganda yang dimaksudkan tentunya adalah propaganda teks yang dileburkan dalam isi bahasa pemberitaan suatu media. Teks dipropagandakan untuk membentuk persepsi masyarakat (baca: pembaca) seperti dikehendaki oleh media –yang dikendalikan oleh ideologinya. Disini peran teks sangatlah menentukan kearah mana pembaca akan mengambil suatu sikap/kesimpulan mengenai sebuah realitas. Karena teks dapat menyajikan ‘realitas’ sesuai yang dikendaki media dengan cara mendominasi disetiap konten pemberitaan.
Sehingga wajar saja, jika pemberitaan antara media yang satu dengan media yang lainnya cenderung berbeda dan bahkan terjadi ketimpangan dalam merepresentasikan realitas. Baik itu terletak pada sudut pandang pemberitaan, titik tekan informasi, maupun dalam mengkonstruksi teks. Sebagai suatu contoh, mari kita pelajari bagaimana dua media nasional Kompas dan Republika dalam memberitakan krisis yang terjadi di Libya. Kedua media itu memiliki sudut pandang sendiri dalam mengkonstruk pihak yang menentang rezim Moammar Khadafi. Dalam bahasa (baca: teks) Kompas sepanjang pemberitaan seputar krisis di Libya pihak penentang khadafi selalu dibahasakan sebagai oposisi. Sedangkan dalam republika cenderung dibahasakan sebagai pemberontak.
Penggunaan kata oposisi dan pemberontak jelas dapat menimbulkan persepsi berbeda pada pembacanya. Secara harfiah, dua kata tersebut memang mempunyai arti sama yakni penentangan terhadap rezim otoritas. Akan tetapi keduanya punya titik tekan yang berbeda. Oposisi relatif memiliki konotasi positif, karena dalam konteks indonesia kata ini cenderung dipahami tidak lebih dari sebatas sikap politik yang berbeda dengan pemerintah. Dan biasanya, cenderung pro rakyat. Sedangkan pemberontak punya konotasi yang (sedikit) negatif, karena hampir pasti titik tekan daripada kata “pemberontakan” adalah kudeta kekuasaan baik dengan ataupun tanpa kekerasan. Dan pada pehamannya menjadi gamang apakah itu pro rakyat atau hanya semata-mata kekuasaan.
Dari sini kita dapat melihat bagaimana media tersebut memposisikan diri. Kompas nampaknya sedikit lebih lunak dalam memandang pihak-pihak yang menentang Khadafi. Sehingga kontsruksi teks yang dihasilkan adalah kata “oposisi”. Sedangkan Republika nampaknya lebih berani, dengan membahasakan kubu penentang khadafi sebagai “pemberontak”, dapat dipahami bahwa sejatinya Republika hendak mengkonstruksi pembaca untuk memahami kasus tersebut sebagai sebuah bentuk irama kudeta kekuasaan –bukan semata krisis demokrasi.
Perbedaan ini jelas diakibatkan oleh perbedaan ideologi kedua media tersebut. Walaupun materi pemberitaan sama sekalipun, dengan penggunaan teks yang berbeda pada konten pemberitaan, persepsi yang timbul pada pembacanya juga akan berbeda. dan dalam hal ini dapat dikatakn media telah berhasil memainkan peran ideologisnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang menyebabkan isi pemberitaan berbeda di setiap media massa?
2. Bagaimana kepentingan media massa mempengaruhi isi pemberitaan?
3. Bagaimanakah cara pandang media massa di Indonesia, khususnya Kompas dan Republika memberitakan kondisi politik di Libya?
C. KONSEPTUALISASI VARIABEL (DEFINISI KONSEP DAN OPERASIONAL)
Variabel X : kepentingan media massa
Operasionalisasi X : bisnis, ideologi, religius, nasionalis
Variabel Y : isi pemberitaan media massa
Operasionalisasi Y : kata/kalimat dalam kasus krisis politik Libya